Monday, 1 December 2014

Kebohongan Seorang Anak Untuk Membuat Orang Tuanya Bahagia
(Tugas Membuat Cerita Nyata Berdasarkan Teori Drama Turgi)
Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita percaya bahwa kebohongan akan membuat manusia terpuruk dalam penderitaan yang mendalam, tetapi kisah yang diambil dari kisah pribadi ini justru sebaliknya. Dengan adanya kebohongan yang dilakukan oleh seorang anak terhadap orang tuanya sendiri, maka makna sesungguhnya dari kebohongan ini justru dapat membuka mata kita dan terbebas dari penderitaan, ibarat sebuah energi yang mampu mendorong mekarnya sekuntum bunga yang paling indah di dunia. Itulah kebohongan yang terjadi dalam kehidupan si penulis, hal itu juga yang akan menjadi bahan cerita untuk menjawab satu pertanyaan yang bergulir bersama angan mendalam yaitu hadirnya dua wajah yang melibatkan dua tempat yang berbeda ibarat sebuah panggung sandiwara “Drama Turgi”.
Cerita bermula ketika saya masih mengenyam pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), di mana waktu itu saya sudah tiga tahun ditinggal oleh kedua orang tua saya, bukan karena mereka meninggal atau saya dititipkan di panti asuhan, melainkan karena permasalahan keluarga yaitu mereka bercerai sejak saya masih SD kelas VI. Sebut saja ‘Habiya’ manusia ibarat malaikat untuk seorang ibu yang melahirkan saya dan seorang ayah ‘Supandi’ manusia terkejam sedunia versi ibu saya, alasan ibu mengatakan hal seperti itu mungkin karena beliau broken heart diputusin alias dicerai oleh ayah. Terlahir sebagai seorang anak laki-laki satu-satunya di sebuah keluarga yang hidup di Desa. Saya menjadi prioritas utama bagi orang tua saya, akan tetapi yang memprioritaskan keberlanjutan hidup saya adalah seseorang yang melahirkan saya yaitu Ibu. Beliaulah yang selama ini menjamin dan memberikan nafkah batin serta materi untuk saya. Kenapa tidak? Ayah yang sudah ceraikan ibu tiga tahun lalu sudah mendapatkan pendamping hidupnya lagi. Hingga pada saat ibu saya mendengar ayah sudah meminang perempuan lain, beliau tidak mengizinkan saya untuk bertemu dengan ayah, bahkan beliau juga tidak menerima pemberian ayah yang akan diberikan kepada anaknya. Maklum ibu saya mungkin sakit hati sekali dengan kenyataan yang beliau terima saat itu, seperti bahasa anak zaman sekarang “Sakitnya tu di sini” sambil nunjuk dada.
Berbicara mengenai rasa sayang mungkin saya tidak bisa membedakan lebih sayang siapa antara ayah sama ibu, karena tanpa kerja keras mereka, mungkin saya tidak bisa ganteng seperti saat sekarang ini, bahkan mungkin saya tidak bisa lahir ke dunia yang penuh dengan gemerlap indah namun fana ini. Suatu hari saya mendapat kabar bahwa ayah saya sakit dan hampir opname, yang namanya anak pastinya ingin menjenguk orang tuanya yang lagi sakit. Namun apa daya saya tinggalnya sama ibu sedangkan ayah saya tinggal sama permaisurinya yang baru, jadi saya hanya bisa berdoa untuk kesembuhan ayah saya. Sampai beberapa hari setelah saya mendengar ayah saya sakit, terdengar suara merdu campur berisik dari kejauhan. “Nak! Ayahmu sakit, kata tante kamu ayahmu sakitnya parah sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur”, kata ibu sambil senyum-senyum ibarat merasa puas atas penderitaan ayah. Saya sebagai anak tentunya tidak mau membuat orang tua yang melahirkan saya kecewa jika anaknya tidak ikut bahagia atas kebahagian yang dia terima, meski hal itu menurut saya adalah hal yang salah namun saya waktu itu mencoba untuk bisa tertawa sambil mengutarakan sebuah kata “Tulat!!!”. Istilah dalam bahasa Madura yang dikatakan ketika melihat musuhnya lagi jatuh atau lagi kesakitan, sama halnya seperti kalimat “Kasian deh!!!”.
Melihat tingkah saya yang sampai mengatakan hal yang tidak pantas untuk dikatakan kepada orang tua, ibu saya malah kelihatan tambah bahagia, mungkin beliau merasa puas karena anak semata wayangnya juga membenci laki-laki yang sudah menceraikannya. Padahal setelah kejadian itu saya berusaha dan selalu mencari cara bagaimana untuk bisa menjenguk ayah saya yang lagi sakit, maklum berangkat dan pulang sekolah selalu dijemput oleh ibu saya karena takut anaknya menjenguk ayahnya. Kejamkan ibu saya? Menurut saya tidak kerena itu adalah sebuah proses penghapusan kebencian seorang perempuan kepada seorang laki-laki yang sudah menceraikannya tanpa sebab. Hingga pada akhirnya saya bisa menjenguk ayah yang lagi terbaring lemas di atas kasur empuk penuh kehangatan perempuan barunya. Dengan nada rendah penuh keheranan ayah bertanya “Loh, sama siapa? Tidak di marahin ibunya apa kamu ke sini?”. Selama ayah sama ibu saya cerai, ayah sudah mengerti jika ibu saya tidak mengijinkan saya untuk ketemu dia, apalagi sejak ibu mendengar kabar bahwa ayah sudah meminang perempuan lain, amarahnya mulai mengkobar ibarat aliran magma yang menghantam bebatuan hinggan hangus terbakar, lebih parahnya lagi pemberian dari ayah untuk saya juga ditolak. Namun kebohongan yang harus saya utarakan waktu itu, untuk membuat ayah saya tidak banyak beban dan fikiran. Dengan penuh keyakinan saya menjawab pertanyaan ayah “Sendirian yah. Siah... Ibu tidak sekejam itu kok, malah ibu yang nyuruh saya untuk menjenguk ayah”. Bahasa polos dengan raut meyakinkan, kebohongan yang kedua sudah saya perbuat untuk kedua orang tua saya.
Dengan kebohongan-kebohongan yang saya lakukan, mulai dari bersikap senang ketika mendengar ayah saya sakit sampai berbohong kepada ayah saya itu diibaratkan saya mempunyai dua dunia, yaitu dunia untuk seorang ayah dan dunia untuk seorang ibu. Akan tetapi dari setiap kebohongan yang saya lakukan, saya selalu bertanya-tanya sampai sekarang. Apakah benar kita hidup seperti halnya panggung sandiwara? Yang terkadang kita menjadi orang lain dan terkadang pula menjadi diri kita sendiri. Wallahua’lam...!!!
Yang bisa saya ambil dari cerita pribadi saya di atas bahwa itulah bukti cinta dan kasih sayang seorang anak kepada orang tua atau orang tua kepada anaknya. Meski harus menjadi orang lain dan berbohong. Karena bohong tidak selalu bersifat negatif tetapi bisa juga positif. Manusia mempunyai sifat dan hati nurani yang memerlukan kebohongan yang bersifat positif agar tidak shock, rendah diri, takut dsb. Karena sejahat-jahatnya orang dimuka bumi ini selama masih mempunyai moral dan akal sehat maka tidak ada orang yang akan menjerumuskan dirinya sendiri. karena kebohongan, kemarahan bahkan sampai caci maki orang tua kepada anaknya atau anaknya kepada orang tuanya, itu semua dilakukan hanya demi kebaikan semata. Apakah itu salah?

0 comments:

Post a Comment