Friday, 3 January 2014

Persepsi tentang etika cenderung akan berubah-ubah sesuai dengan perubahan zaman, karena membicarakan etika berarti membicarakan persoalan pandangan atau persepsi individu atau sekelompok orang yang erat hubungannya dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan seseorang untuk dapat dikatakan baik atau buruk. Di samping itu etika juga berkaitan dengan aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia. Dengan adanya etika dalam sebuah pergaulan masyarakat akan dapat dilihat baik dan buruknya. Namun hal itu juga merupakan tolak ukur suatu proses dalam Negara, dimana akan terselenggaranya suatu ke adilan dan kesejahteraan yang di prakarsai oleh para pejabat-pejabat publik yang nantinya di harapkan akan menjadi dewa penolong bagi masyarakat banyak. Pejabat publik merupakan orang-orang yang diserahi tugas dalam jaba¬tan publik untuk melaksanakan tugas bangsa dan negara berdasarkan aturan yang ada. Mulai dari eksekutif, legis¬latif, yudikatif, pejabat pusat, pejabat daerah, dan pejabat lembaga negara lainnya. Semuanya memegang posisi yang penting bagi tujuan negara. Karena dari kebijakan merekalah tujuan negara bisa dijalankan. Itulah sebabnya masyarakat memilih mereka, karena percaya dengan kemampuan untuk menjalankan tugas penting tersebut. Wajar jika orang-orang pili¬han ini menjadi panutan bagi masya¬rakat umum. Namun, sejak dulu hingga sekarang kita selalu dihadapi dengan problem kronis, yakni praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di kalangan pejabat publik. Bertahun-tahun masalah korupsi menjadi kontroversi, tapi tidak pernah terselesaikan secara tuntas dan memuaskan. Masalah utama sulitnya memberantas praktik korupsi tak lain adalah relasi kekuasaan tanpa kontrol. Bahkan tidak ada instrumen hukum yang secara efektif dapat mencegah praktik tercela ini karena hukum pun telah diperbudak dan menjadi lumpuh oleh dahsyatnya pengaruh politik uang. Tidak hanya kasus korupsi yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam menilai para pejabat publik di masa sekarang. Sejauh ini sorotan media baik media massa maupun elektronik melirik Pejabat nomor satu di Kabupaten Garut baik lokal maupun nasional. Sorotan bukan karena prestasi, me¬lainkan perbuatan tercela yang telah dilakukan. Pernikahan empat hari sang bupati dengan gadis berusia 18 tahun, Fany Octora. Aceng Fikri, dianggap telah melanggar etika sebagai seorang pejabat publik.kita bisa melihat bagaimana moral yang di tunjukkan oleh para pejabat sekarang yang seenaknya mengandalkan jabatan dan uang mereka untuk memanipulasi sesuatu yang mereka anggap benar walaupun sudah bertentangan dengan Undang-Undang. Sering kali pejabat publik ter¬sandung kasus yang akhirnya mem¬perburuk citranya di mata masyarakat. Mulai dari kasus biasa sampai luar biasa, yang terkadang bisa berakhir dengan sanksi pidana. Perebutan harta, tahta, dan wanita, sering menyeret pejabat publik untuk meninggalkan nilai-nilai moral. Terkadang semuanya dilakukan tidak saja melanggar hukum tapi melanggar nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Hal ini menan¬dakan lemahnya moral pejabat publik yang tersandung kasus. Dalam kehidupan sehari-hari mereka, etika dan moral sering kali disandingkan dalam menjalankan tugas dan perannya sebagai seorang pejabat. Yang mestinya ke dua hal tersebut melekat pada masing-masing pejabat yang ikut berperan di dalamnya dan hal itu juga dapat menentukan apakah pajabat itu layak untuk dikatakan baik atau pun sebaliknya. Bahkan tidak hanya di kalangan pejabat saja mengenai etika dan moral itu tersosialisasikan, di kalangan sekelompok masyarakat kecilpun etika dan moral selalu di nomer satukan dalam menjalankan suatu tindakan yang nantinya akan menetukan kebaikan dari suatu tindakan tersebut. Namun, pertanyaan besarnya, Apakah moral setiap orang akan merubah ketika uang dan jabatan mulai mereka dapatkan? Kita lihat dari berbagai kejadian-kejadian yang ada di negara kita mulai dari kasus Nazaruddin dan juga kasus yang sedang ramai diperbincangkan semua orang akhir-akhir ini seorang Pejabat nomer satu di Kabupaten Garut Aceng Fikri, sungguh membenarkan adanya pertanyaan di atas dimana kekayaan dan jabatan bisa menghilangkan nilai moral yang ada di diri seseorang walaupun sebenarnya mereka mengetahui hal itu adalah suatu perbuatan yang jauh dari kebenaran dan menyimpang dari etika dan moral sebagai pejabat publik. Namun hanya kedudukan dan uang yang mereka fikirkan tanpa melirik masyarakat yang ada di bawahnya. Hal itu juga dapat kita lihat dengan suatu perspektif ke agamaan, yang tentunya akan menimbulkan berbagai pertanyaan yang akan muncul. Misal pertanyan yang mengemuka, mengapa ketaqwaan kita belum menumbuhkan kesalehan sosial? Sebab semangat transformasi dan reformasi telah luntur dari kesadaran beragama kita. Inilah problem manajemen beragama kita. Aplikasi takwa hanya menyentuh kesalehan ritual dan belum terelaborasi menjadi kesalehan sosial. Anehnya, substansi kesalehan acap kali diperlihatkan secara atribut dan seremonial saja. Diakui atau tidak, esensi ibadah kita belum berorientasi pada moralitas, baik dalam bermasyarakat maupun bernegara. Karena apa yang kita lakukan dan apa yang kita perbuat hanya terfokus terhadap kepentingan material saja dan sejauh yang kita bayangkan kalau kita hidup senang akan membawa kita terhadap peribadatan yang baik pula. Kesalahan dalam suatu anggapan yang selalu menilai baik hal yang belum tentu baik di masyarakat tentunya sudah menjadi hal yang lumrah dan acap kali hal itu mendatangkan kebiasaan yang tak dapat kita rubah secepat yang kita inginkan...!!! Sungguh, mereka sudah tak lagi mengenal moralitas publik yang seharusnya dipegang teguh, dirawat, dan dipelihara agar dapat mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai abdi negara, guna memberikan pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat secara baik. Moralitas publik tampaknya sudah tergerus oleh mentalitas korup dan kewibawaan jabatan sehingga yang muncul adalah perlombaan untuk memperkaya diri dan tanpa malu mendemonstrasikan kemewahan, sekalipun jalan yang ditempuh adalah mencuri uang rakyat. Sebuah fakta tentang moralitas yang tak terukur dengan sebuah kebenaran yang sebenar-benarnya. Sumber : www.ipnu.or.id www.padangekspres.co.id

0 comments:

Post a Comment